Rabu, 05 Mei 2010

Resensi


Judul: Bumi Manusia
Pengarang: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Tebal: 539 halaman




“Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dari pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Itulah adalah sebuah kalimat yang dikatakan seorang tokoh dalam Novel “Bumi Manusia” bernama jean Marais veteran perang aceh kepada minke. Novel Bumi Manusia adalah novel pertama dalam roman tetralogi Buru karangan Pramoedya Ananta Toer. Kita tentunya kenal dengan Pram, dia adalah orang yang pernah menyandang nama tapol dan dipenjara di tiga zaman, Pertama pada masa colonial, kedua apada masa orde lama dan yang terakhir pada masa orde baru. Novel ini mengambil latar belakang pada akhir abad ke 19. Dengan membacanya kita akan melihat bibit pergerakan nasional mula-mula, pertgolakan rasa dan jiwa dan pertarungan srikandi sebagai anonim yang mengawal bangunan nasional.
Dalam novel ini menceritakan seseorang bernama minke, seorang priyayi(golongan bangsawan dalam budaya jawa) yang terdidik secara eropa. Pribadi minke dalam kisah Bumi manusia ini berkeinginnan menjadi “manusia merdeka”, karena dia merasa tersiksa adat istiadat yang selalu dia jalani di jawa, Yang menurut dia kebudayaan jawa terlalu merendahkan manusia(dalam tata cara bertemu dengan atasan/raja). Dia merasa hina dan rendah ketika melakukan hal seperti itu. Ini bisa kita lihat ketika di bagian ketika dia bertemu dengan ayahnya.. Ketika dia melakukan hal seperti itu pengetahuan dan pendidikan eropanya tidak berarti . Sungguh sentilmentil menurut saya. Ini menurut saya sebuah hal yang wajar ketika seseorang berpendidikan eropa yang sangat mengagung-agungkan kesamaan derajat dan liberalism, akan sangat terhina ketika melakukan hal tersebut.Karena kita dilahirkan sama dan mempunyai hak yang sama atas seisi dunia, kenapa haru tunduk kepada seseorang, hanya kabrena di seorang keturyunan raja. Dia betrkeingina n agar anak cucunya kelak tidak melakukan kehinaan seperti yang dia lakukan. Dalam novel ini kita bisa melihat minke memmbelah pemikiran eropanya yang menjadi pusat pemikiran dan peradabannya.
Dalam kisah ini, minhke bertemu dengan nyai ontosoroh. Seorang gundik tetapi mempunyai pandangan yang luas tentang dunia. Dengan dialah minhke belajar bagiamna pahitnya hidup seorang pribumi dalam kekuasaan belanda.
Dalam Novel ini Pram ingin membagi ide tentang feodalisme, dalam hal ini budaya “Soan” kepada petinggi atau raja yang dilakukan oleh minke kepaqda ayahandanya. Bagaiman sebuah adat istiadat akan dinilai merendahkan kemanusian di peradaban lain. Kita sebagai manusia terpelajar diajar berpikir sevccara kritis terhadapa kebudayaan jawa atau kebudayaan sekitar kita, apakah kebudayaan tersebut masih sangfat relevan dengan nilai2 kemanusian yang ada. Dan juga kita diajak betrpikir secara kritis akan eksistensi seorang wanita pada masa itu.
Buku ini dsangat menarik untuk dibac, karena kita dapat melihat pergoilakan jiwa seorang terpelajar pada madsa itu dalam melihat eropa sebagai raksasa dan sebagai pusat peradaban dengan peradabannya sendiri. Kita bisa melihat pada novel ini bagaimana benih-benih pembangunan nasional tumbuh sehingga menyebabkan indonesis amerdeka di kemudian hari kelak

Tidak ada komentar: